--> SEJARAH PUASA DAN DEFINISINYA | Griya Ide dan Ilmu

Indahnya Berbagi Ilmu dan Ide

Selamat Datang Semoga Bermanfaat

Kamis, 18 Juli 2013

SEJARAH PUASA DAN DEFINISINYA

| Kamis, 18 Juli 2013

            Puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau shaum—keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja sha-wa-ma—yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Shiyam atau shaum merupakan qiyam bila ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’.  Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa bebas dari gerakan-gerakan yang telah ditetapkan dirukunkan seperti shalat. Dalam Al-Ausi Ibnu Durayd mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu shiyam atau sedang berpuasa.

            Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasalnya kata, mendefinisikan shaum sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun mal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari  sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya.  Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperhatikan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik.

            Puasa pada bulan Ramadhan telah disyariatkan kebali kepada manusia, tidak hanya kepada umat Muhamad Shallallahu ‘alahi wassalam, setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhamad Shallallahu ‘alahi wassalam adalah meluruskan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang telah diselewengkan umat-umat terdahulu.

            As-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka menyelewengkannya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga mereka berpuasa selama lima puluh hari.

            Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihabudin Al-Alusi, penulis Tafsir Ruhul Ma’ani, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di Laut Merah.

            Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebut apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, akau memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Tidak ada keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.

            Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa tampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. ‘Aisyah RA meceritakan—seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah—bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Asyura, walaupun sehari saja. Namun sejak diutus nabi Muhamad SAW, puasa dilaksanakan di bulan Ramadhan. Puasa di ‘Asyura masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.

            BERBAGAI VERSI PUASA

Orang Yunani mengetahui puasa dari orang Mesir purba. Mereka berpuasa sebelum pergi berperang. Orang Romawi juga berpuasa, terutama apabila diserang oleh musuh, untuk memperoleh kemenangan. Orang Indian di Amerika Utara  mengamalkan puasa sebelum atau sedang dalam ikhtiar mendapatkan wangsit. Golongan paderi di kalangan kaum Indian Pueblo di barat daya Amerika berpuasa saat mereka menyendiri sebelum upacara utama yang berkaitan dengan pertukaran musim. Di Cina, orang lazimnya berpuasa pada suatu jangka masa yang ditentukan sebelum melakukan pengeorbanan pada malam ketika kekuatan Yang (kekuatan positif) dipercaya melakukan kitaran barunya. Adat Mesir dan Babylonia purba menganggap amlan puasa sebagai satu cara untuk menembus dosa. Dan banyak kebudayaan di dunia yang melaksanakan puasa dengan masud meredakan kemarahan dewa atau menghidupkan dewa yang mati.

Kesimpulan, ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat tua usia. Dan sejak Islam datang, Allah sempurnakan ibadah puasa, sebagaimana Allah sempurnakan Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Maidah: 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


                  


Related Posts

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat Berbuka Puasa..... :-)

http://yentisustina.wordpress.com/2012/07/

Recent Posts