Puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam
atau shaum—keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja sha-wa-ma—yang
secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke
tempat lain. Shiyam atau shaum merupakan qiyam bila ‘amal,
yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’.
Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa bebas dari gerakan-gerakan yang
telah ditetapkan dirukunkan seperti shalat. Dalam Al-Ausi Ibnu Durayd
mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu
itu shiyam atau sedang berpuasa.
Ibnu
Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab, dalam hasil pelacakannya atas
asal-muasalnya kata, mendefinisikan shaum sebagai “hal meninggalkan makan,
minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan
sahih dalam sejarah bahasa Arab. Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau
letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun mal ibadah
seseorang, pasti akan dapat diketahui dari
sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan
tidak bisa diperhatikan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik.
Puasa pada bulan Ramadhan telah
disyariatkan kebali kepada manusia, tidak hanya kepada umat Muhamad Shallallahu
‘alahi wassalam, setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini
bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhamad Shallallahu ‘alahi wassalam adalah
meluruskan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang telah
diselewengkan umat-umat terdahulu.
As-Suday menyatakan bahwa
orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan.
Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka menyelewengkannya dengan berpuasa
di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari.
Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh sebelum dan
sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga mereka berpuasa selama
lima puluh hari.
Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga
memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari
dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihabudin Al-Alusi,
penulis Tafsir Ruhul Ma’ani, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari
tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di Laut Merah.
Dalam kitab Perjanjian, salah
satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat
puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebut apa yang dimaksud
dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudian di
sana, di tepi sungai Ahawa itu, akau memaklumkan puasa supaya kami merendahkan
diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami,
bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Tidak ada
keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh
tentang puasa tersebut.
Dalam konteks sejarah yang lain,
syariat puasa tampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. ‘Aisyah RA
meceritakan—seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah—bahwa orang-orang
Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Asyura, walaupun sehari saja. Namun
sejak diutus nabi Muhamad SAW, puasa dilaksanakan di bulan Ramadhan. Puasa di
‘Asyura masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.
BERBAGAI VERSI PUASA
Orang Yunani mengetahui puasa dari orang Mesir purba. Mereka
berpuasa sebelum pergi berperang. Orang Romawi juga berpuasa, terutama apabila
diserang oleh musuh, untuk memperoleh kemenangan. Orang Indian di Amerika
Utara mengamalkan puasa sebelum atau
sedang dalam ikhtiar mendapatkan wangsit. Golongan paderi di kalangan kaum
Indian Pueblo di barat daya Amerika berpuasa saat mereka menyendiri sebelum
upacara utama yang berkaitan dengan pertukaran musim. Di Cina, orang lazimnya
berpuasa pada suatu jangka masa yang ditentukan sebelum melakukan pengeorbanan
pada malam ketika kekuatan Yang (kekuatan positif) dipercaya melakukan kitaran
barunya. Adat Mesir dan Babylonia purba menganggap amlan puasa sebagai satu
cara untuk menembus dosa. Dan banyak kebudayaan di dunia yang melaksanakan
puasa dengan masud meredakan kemarahan dewa atau menghidupkan dewa yang mati.
Kesimpulan, ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat tua usia. Dan
sejak Islam datang, Allah sempurnakan ibadah puasa, sebagaimana Allah
sempurnakan Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Maidah: 3 “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
1 komentar:
Selamat Berbuka Puasa..... :-)
http://yentisustina.wordpress.com/2012/07/
Posting Komentar