BAB 6 : Memperkuat Komitmen Kebangsaan
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna dan hancur tanpa sisa.
Sebuah bangsa akan tumbuh menjadi bangsa yang besar
dan terhormat apabila memiliki nilai–nilai, semangat, dan komitmen kebangsaan
yang tinggi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki potensi
serta kapasitas untuk menjadi bangsa yang bersatu dan maju.
Kita semua mencintai bangsa ini.
Kita juga memiliki harapan agar bangsa ini menjadi bangsa yang modern, maju,
mandiri, dan demokratis. Untuk mewujudkannya, terdapat tantangan yang banyak.
Namun, kita yakin dengan kesadaran, semangat, dan komitmen yang tinggi, kita
dapat mengatasi semua itu. Untuk menanamkan sikap semangat dan komitmen
kebangsaan ini, kalian akan mempelajari lebih jauh lagi dalam bab ini.
A. Semangat dan Komitmen Kebangsaan
Pendiri Negara
Soekarno mengulas pemikiran bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato
Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut.
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna dan hancur tanpa sisa.
Sejarah Indonesia meliputi suatu
rentang waktu yang sangat panjang dimulai sejak zaman Prasejarah berdasarkan
penemuan ”Manusia Jawa”. Secara geologi, wilayah Nusantara merupakan pertemuan
antara tiga lempeng benua, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan
Lempeng Pasifik.
Para cendekiawan India telah
menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan
Sumatera sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua
kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke-5, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang
menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan.
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7,
di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha, yaitu Kerajaan
Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada
masa abad ke-7 hingga abad ke-14, Kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di
Sumatera yang beribu kota di Palembang. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya
menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu.
Selanjutnya, abad ke-14 juga
menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh
kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta
hampir seluruh Semenanjung Melayu.
Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit
merupakan sejarah awal pengenalan wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan
tanah air bangsa Indonesia. Sebutan nusantara diberikan oleh seorang pujangga
pada masa Kerajaan Majapahit, kemudian pada masa penjajahan Belanda, sebutan
ini diubah oleh pemerintah Belanda menjadi Hindia Belanda.
Dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012) dijelaskan
bahwa Indonesia berasal dari bahasa latin indus
dan nesos yang berarti India dan
pulau-pulau. Indonesia merupakan sebutan yang diberikan untuk pulau-pulau yang
ada di Samudra India dan itulah yang dimaksud sebagai satuan pulau yang
kemudian disebut dengan Indonesia.
Pada tahun 1850, George Windsor
Earl seorang etnolog Inggris mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians
untuk penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian, seorang
mahasiswa bernama Earl James Richardison Logan menggunakan Indonesia sebagai
sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun, di kalangan akademik Belanda, di Hindia
Timur enggan menggunakan Indonesia. Sebaliknya, mereka menggunakan istilah
Melayu Nusantara (Malaische Archipel).
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum di kalangan akademik di
luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakan nama Indonesia
untuk ekspresi politiknya. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memopulerkan
nama Indonesia melalui bukunya Indonesien
oder die inseln des malayischen
arcipels (1884-1894). Kemudian, sarjana bahasa Indonesia pertama yang menggunakan nama Indonesia
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika ia mendirikan kantor
berita di Belanda dengan nama Indonesisch Pers-Bureau di tahun 1913.
Penduduk yang hidup di wilayah
Nusantara menempati ribuan pulau. Nenek moyang masyarakat Nusantara hidup dalam
tata masyarakat yang teratur, bahkan dalam bentuk sebuah kerajaan kuno, seperti
Kutai yang berdiri pada abad IV di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa
Barat, dan Kerajaan Cirebon pada abad XV (Setidjo,
Pandji, 2009). Kemudian, beberapa abad setelah itu, berdiri Kerajaan
Sriwijaya pada abad V, Kerajaan Majapahit pada abad XIII, dan Kerajaan Mataram
pada abad VII.
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram menunjukkan kejayaan yang di miliki wilayah Nusantara. Pada waktu itu,
sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara berhasil dipersatukan dan mengalami
kemakmuran yang dirasakan seluruh rakyat.
Mengenai
sejarah Nusantara ini, Bung Karno pernah menyampaikan bahwa:
”Kita hanya
dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit... nationale staat hanya
Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan
yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama.” (Pidato ”Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno di depan
Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945).
Kerajaan Majapahit merupakan
cikal bakal negara Indonesia. Majapahit yang keberadaannya sekitar abad XIII
sampai abad XV adalah kerajaan besar yang sangat berjaya, terlebih pada masa
pemerintahan Mahapatih Gajah Mada yang wafat di sekitar 1360-an. Gajah Mada
adalah Mahapatih Majapahit yang sangat disegani, dialah yang berhasil
menyatukan Nusantara yang terkenal dengan ”Sumpah Palapa” (sumpah yang
menyatakan tidak akan pernah beristirahat atau berhenti berpuasa sebelum
Nusantara bersatu).
Sumpah Palapa yang dinyatakan
Gajah Mada merupakan bukti semangat yang kuat untuk menggapai cita-cita pribadi
maupun cita-cita Kerajaan Majapahit untuk mempersatukan Nusantara. Semangat
mengandung arti tekad dan dorongan hati yang kuat untuk menggapai keinginan
atau hasrat tertentu. Komitmen adalah sikap dan perilaku yang ditandai oleh rasa
memiliki, memberikan perhatian, serta melakukan usaha untuk mewujudkan harapan
dan cita-cita dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap
bangsa adalah orang yang akan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan pribadi dan golongan.
Para pendiri negara merupakan
contoh yang baik dari orang-orang yang memiliki semangat yang kuat dalam
membuat perubahan, yaitu perubahan dari negara terjajah menjadi negara yang
merdeka dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu pendiri
negara memiliki semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik bagi diri,
bangsa, dan negara.
Berikut ini kalian dapat mengkaji
bagaimana keras dan sulitnya perjuangan pendiri negara, yaitu Ir. Soekarno dan
Mohammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
a. Ir. Soekarno
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian, beliau melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, Soekarno pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar ”Ir” pada 25 Mei 1926.
kemudian diasingkan ke Flores dan empat tahun
kemudian ia dibuang ke Bengkulu dan dibebaskan tahun 1942 menjelang kedatangan
penjajahan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, bukan berarti per juangan Soekarno berakhir. Pada
tahun 1948, Soekarno setelah Agresi Militer Belanda II, Soekarno kembali
diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Dari Parapat, Soekarno kemudian
dipindahkan ke Bukit Manumbing, Bangka.
Penjara,
dibuang, dan hidup dalam penderitaan tidak membuat semangat dan tekad Soekarno
untuk kemerdekaan dan kejayaan bangsa Indonesia surut. Komitmen untuk hidup
berjuang menciptakan perubahan yang lebih baik sudah seharusnya ada dalam diri
seluruh bangsa Indonesia. Penderitaan anggaplah sebagai sebuah tantangan untuk
menjadi lebih baik
Selanjutnya, pada tahun 1932,
Hatta kembali ke Indonesia. Bulan September 1932, Bung Hatta berjumpa Bung
Karno untuk pertama kalinya. Sejak itu, keduanya seperti dipertautkan alam,
berjuang bersama membela Tanah Air. Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke
Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras Hatta. Ia mulai menulis mengenai
pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah
kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional
Indonesia dan menangkap para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke
Digul, Papua.
Pada masa pengasingan di Digul,
Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia
bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya,
pada tahun 1935, saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir
dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi
pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.
Setelah delapan tahun diasingkan,
Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu
bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah,
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Setelah Agresi Militer II tanggal
19 Desember 1948, Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Giri Sasana
Menumbing, di Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Selain Bung Karno dan Hatta,
sejumlah tokoh nasional juga diasingkan di bangunan yang terletak di pucuk
Gunung Menumbing. Sekretaris Negara Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Agus
Salim, Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat, Wakil
Perdana Menteri Mr Moh Roem dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S.
Suryadarma merupakan tokoh-tokoh yang bersama Soekarno dan Hatta diasingkan di
Bangka.
Pada tanggal 14 Maret 1980, Hatta
wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik
Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi ”Bintang
Republik Indonesia Kelas I” yang diberikan oleh Presiden Soeharto.
Semangat dan komitmen kebangsaan
bukan hanya ditunjukkan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Banyak tokoh pendiri
negara lainnya yang memiliki semangat dan komitmen kebangsaan yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar