--> BAB 6 : Memperkuat Komitmen Kebangsaan | Griya Ide dan Ilmu

Indahnya Berbagi Ilmu dan Ide

Selamat Datang Semoga Bermanfaat

Rabu, 18 Maret 2020

BAB 6 : Memperkuat Komitmen Kebangsaan

| Rabu, 18 Maret 2020
BAB 6 : Memperkuat Komitmen Kebangsaan

Sebuah bangsa akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan terhormat apabila memiliki nilai–nilai, semangat, dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki potensi serta kapasitas untuk menjadi bangsa yang bersatu dan maju.

Kita semua mencintai bangsa ini. Kita juga memiliki harapan agar bangsa ini menjadi bangsa yang modern, maju, mandiri, dan demokratis. Untuk mewujudkannya, terdapat tantangan yang banyak. Namun, kita yakin dengan kesadaran, semangat, dan komitmen yang tinggi, kita dapat mengatasi semua itu. Untuk menanamkan sikap semangat dan komitmen kebangsaan ini, kalian akan mempelajari lebih jauh lagi dalam bab ini.

A. Semangat dan Komitmen Kebangsaan Pendiri Negara

Soekarno mengulas pemikiran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut.







































Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan, bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna dan hancur tanpa sisa.

Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang dimulai sejak zaman Prasejarah berdasarkan penemuan ”Manusia Jawa”. Secara geologi, wilayah Nusantara merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.

Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatera sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke-5, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan.

Pada abad ke-4 hingga abad ke-7, di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, Kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera yang beribu kota di Palembang. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu.

Selanjutnya, abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.

Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan sejarah awal pengenalan wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan tanah air bangsa Indonesia. Sebutan nusantara diberikan oleh seorang pujangga pada masa Kerajaan Majapahit, kemudian pada masa penjajahan Belanda, sebutan ini diubah oleh pemerintah Belanda menjadi Hindia Belanda.

Dalam buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012) dijelaskan bahwa Indonesia berasal dari bahasa latin indus dan nesos yang berarti India dan pulau-pulau. Indonesia merupakan sebutan yang diberikan untuk pulau-pulau yang ada di Samudra India dan itulah yang dimaksud sebagai satuan pulau yang kemudian disebut dengan Indonesia.
Pada tahun 1850, George Windsor Earl seorang etnolog Inggris mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians untuk penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian, seorang mahasiswa bernama Earl James Richardison Logan menggunakan Indonesia sebagai sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun, di kalangan akademik Belanda, di Hindia Timur enggan menggunakan Indonesia. Sebaliknya, mereka menggunakan istilah Melayu Nusantara (Malaische Archipel). Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum di kalangan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakan nama Indonesia untuk ekspresi politiknya. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memopulerkan nama Indonesia melalui bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen arcipels (1884-1894). Kemudian, sarjana bahasa Indonesia pertama yang menggunakan nama Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda dengan nama Indonesisch Pers-Bureau di tahun 1913.

Penduduk yang hidup di wilayah Nusantara menempati ribuan pulau. Nenek moyang masyarakat Nusantara hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan dalam bentuk sebuah kerajaan kuno, seperti Kutai yang berdiri pada abad IV di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat, dan Kerajaan Cirebon pada abad XV (Setidjo, Pandji, 2009). Kemudian, beberapa abad setelah itu, berdiri Kerajaan Sriwijaya pada abad V, Kerajaan Majapahit pada abad XIII, dan Kerajaan Mataram pada abad VII.

Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram menunjukkan kejayaan yang di­ miliki wilayah Nusantara. Pada waktu itu, sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara berhasil dipersatukan dan mengalami kemakmuran yang dirasakan seluruh rakyat.


Mengenai sejarah Nusantara ini, Bung Karno pernah menyampaikan bahwa:

Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit... nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama.” (Pidato ”Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno di depan Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945).

Kerajaan Majapahit merupakan cikal bakal negara Indonesia. Majapahit yang keberadaannya sekitar abad XIII sampai abad XV adalah kerajaan besar yang sangat berjaya, terlebih pada masa pemerintahan Mahapatih Gajah Mada yang wafat di sekitar 1360-an. Gajah Mada adalah Mahapatih Majapahit yang sangat disegani, dialah yang berhasil menyatukan Nusantara yang terkenal dengan ”Sumpah Palapa” (sumpah yang menyatakan tidak akan pernah beristirahat atau berhenti berpuasa sebelum Nusantara bersatu).

Sumpah Palapa yang dinyatakan Gajah Mada merupakan bukti semangat yang kuat untuk menggapai cita-cita pribadi maupun cita-cita Kerajaan Majapahit untuk mempersatukan Nusantara. Semangat mengandung arti tekad dan dorongan hati yang kuat untuk menggapai keinginan atau hasrat tertentu. Komitmen adalah sikap dan perilaku yang ditandai oleh rasa memiliki, memberikan perhatian, serta melakukan usaha untuk mewujudkan harapan dan cita-cita dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap bangsa adalah orang yang akan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Para pendiri negara merupakan contoh yang baik dari orang-orang yang memiliki semangat yang kuat dalam membuat perubahan, yaitu perubahan dari negara terjajah menjadi negara yang merdeka dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Salah satu pendiri negara memiliki semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik bagi diri, bangsa, dan negara.

Berikut ini kalian dapat mengkaji bagaimana keras dan sulitnya perjuangan pendiri negara, yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

a.    Ir. Soekarno


Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian, beliau melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, Soekarno pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar ”Ir” pada 25 Mei 1926.


kemudian diasingkan ke Flores dan empat tahun kemudian ia dibuang ke Bengkulu dan dibebaskan tahun 1942 menjelang kedatangan penjajahan Jepang.


Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan berarti per­ juangan Soekarno berakhir. Pada tahun 1948, Soekarno setelah Agresi Militer Belanda II, Soekarno kembali diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Dari Parapat, Soekarno kemudian dipindahkan ke Bukit Manumbing, Bangka.

Penjara, dibuang, dan hidup dalam penderitaan tidak membuat semangat dan tekad Soekarno untuk kemerdekaan dan kejayaan bangsa Indonesia surut. Komitmen untuk hidup berjuang menciptakan perubahan yang lebih baik sudah seharusnya ada dalam diri seluruh bangsa Indonesia. Penderitaan anggaplah sebagai sebuah tantangan untuk menjadi lebih baik

Selanjutnya, pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia. Bulan September 1932, Bung Hatta berjumpa Bung Karno untuk pertama kalinya. Sejak itu, keduanya seperti dipertautkan alam, berjuang bersama membela Tanah Air. Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras Hatta. Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan menangkap para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun 1935, saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Setelah Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948, Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Giri Sasana Menumbing, di Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Selain Bung Karno dan Hatta, sejumlah tokoh nasional juga diasingkan­ di bangunan yang terletak di pucuk Gunung Menumbing. Sekretaris Negara Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri Pengajaran Ali Sastroamidjojo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat, Wakil Perdana Menteri Mr Moh Roem dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma merupakan tokoh-tokoh yang bersama Soekarno dan Hatta diasingkan di Bangka.

Pada tanggal 14 Maret 1980, Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi ”Bintang Republik Indonesia Kelas I” yang diberikan oleh Presiden Soeharto.

Semangat dan komitmen kebangsaan bukan hanya ditunjukkan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Banyak tokoh pendiri negara lainnya yang memiliki semangat dan komitmen kebangsaan yang kuat.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Recent Posts